Pages

Selasa, 16 April 2013

Asas Hukum Untuk Dunia Cyber


            Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak. Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hokum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang(the jurisdiction to prescribe)jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
                 Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territorialityyang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain. Kedua, objective territorialityyang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa Negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality.Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai universal interest jurisdiction. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhakuntuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperticomputer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location. Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex Informatica. Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional, antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI). Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : pertama, the principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua,principle of effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement enforcement).
           Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional. Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut : Pertama The Theory of the Uploader and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloadingkegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini.Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploaderberada dalam jurisdiksi asing. Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yaknisovereignless quality.

1 komentar:

https://klas6bklompok6tugasbuyanti.blogspot.com mengatakan...

bagus banget

Posting Komentar

 
ALL ABOUT CYBER LAW powered by blogger.com
Design by Simple Diamond Blogger Templates